MINTA MAAF DAN GANTI RUGI

Pembacaan Alkitab: Im. 6:1-7; Mat. 5:25

Setelah kita percaya Tuhan, kita harus mempunyai kebiasaan “minta maaf dan ganti rugi”. Kalau kita ber­salah kepada seseorang atau telah merugikan sese­orang, kita harus belajar meminta maaf dan memberi­kan ganti rugi. Di satu pihak, kita harus mengaku dosa di hadapan Allah, di pihak lain, kita juga harus meminta maaf dan memberikan ganti rugi di hadapan manusia. Jika kita tidak berbuat demikian, hati nurani kita di hadapan Allah mudah sekali menjadi keras. Hati nurani yang keras akan menimbulkan satu kesukaran yang mendasar, yakni terang Allah sangat sukar menyinari diri kita. Karena itu, kita harus mempunyai kebiasaan “minta maaf dan ganti rugi” agar kita memiliki satu hati nurani yang peka di hadapan Allah.

Jika Anda hanya berdosa kepada Allah tanpa bersangkutan dengan orang lain, Anda tidak perlu minta maaf kepada orang. Kita tidak menginginkan orang melakukan perkara yang melampaui batas. Saudara saudari yang mana pun, bila ia berbuat dosa hanya terhadap Allah, tidak bersangkutan dengan orang lain, ia cukup mengaku dosa kepada Allah saja, sama sekali tidak perlu minta maaf kepada manusia. Ini adalah satu prinsip yang wajib kita perhatikan.

Sebagai anak-anak Allah, perbuatan kita harus sesuai dengan martabat kita; dalam hal mengaku dosa juga harus demikian. Cara mengaku dosa yang mirip dengan orang membuat perhitungan itu sama sekali bukan yang dimiliki anak-anak Allah. Anak-anak Allah harus mengaku dosa dengan rela hati dan dengan di­tambah seperlima. Ketika kita minta maaf atau memberikan ganti rugi dengan ditambah seperlima, hal ini ada kebaikannya, yaitu supaya kita sadar bahwa berdosa kepada orang adalah perkara yang merugikan, sehingga lain kali kita tidak mengulanginya.

Sekarang kita meninjau ayat dalam Matius 5. Ketika Anda mempersembahkan persembahan di atas mezbah, dan teringat ada saudara yang menaruh dendam terhadap Anda, bahkan mengeluh karena Anda, maka lebih baik Anda jangan mempersembahkan persembahan itu. Memang Anda wajib mempersembah­kan persembahan kepada Allah, tetapi Anda harus “ber­damai dulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk memper­sembahkan persembahanmu itu.” Persembahan Anda me­mang dikehendaki Allah, tetapi Anda harus berdamai dulu dengan orang lain. Kalau tidak, Anda tidak dapat memper­sembahkan persembahan di hadapan Allah.

Tuhan berkata, jika Anda memperlakukan seorang saudara dengan curang, se­hingga ia merasa tidak terima di hadapan Allah, ia akan seperti pendakwa dan lawan yang mendakwa Anda. Segeralah berdamai “… selama engkau bersama-sama dengan dia (lawanmu) di tengah jalan.” Hari ini kita semua masih berada di tengah jalan, ia masih hidup, Anda pun masih hidup; ia dan Anda bersama-sama ada di sini. Ia di tengah jalan, Anda pun di tengah jalan. Segeralah berdamai dengannya. Sebab mudah sekali tiba harinya, Anda tidak di sini, tidak ada di tengah jalan, atau ia tidak ada di sini, tidak ada di tengah jalan. Tidak ada seorang pun yang tahu, siapa yang akan pergi dulu. Tetapi waktu itu Anda sudah terlambat. Maka, ketika ia dan Anda masih di tengah jalan, sama-sama masih berada di sini, masih ada kesempatan untuk menjelas­kan, masih ada kesempatan untuk mengaku dosa, segeralah berdamai dengannya.

Di sini Tuhan bukan mengajar kita bagaimana kelak kita menerima hukuman, dilemparkan ke dalam penjara, dan bagaimana caranya keluar; semua itu bukanlah yang diperhatikan oleh Tuhan. Yang diper­hatikan oleh Tuhan ialah keharusan kita untuk ber­damai pada hari ini. Hari ini juga kita harus melunasi hutang kita, jangan menunggu sampai kelak. Lakukan­lah mumpung masih di tengah jalan. Jangan hari ini tidak dilakukan, tetapi mengharap melakukannya kelak. Tuhan justru ingin menunjukkan kepada kita, jika kita menundanya hingga kelak, itu tidak akan menguntung­kan kita, bahkan sangat merugikan.

Anak-anak Allah harus dengan seksama belajar da­lam hal ini: Merugikan benda material, harus mengganti rugi; berdosa kepada orang lain, harus minta maaf. Segera mengganti rugi dan segera minta maaf. Jangan sampai saudara saudari menaruh dendam terhadap kita; kecuali hati nurani sangat bersih dan kesalahan tidak ada pada pihak kita. Tetapi kalau kita yang bersalah, wajiblah mengaku. Janganlah ada perbuatan yang bisa dicela orang lain. Demikian, hati nurani kita akan menjadi kuat. Setelah hati nurani kita kuat, barulah kita dapat beroleh kemajuan di dalam jalan kerohanian kita.

Pertanyaan:

  1. Apa pentingnya kita meminta maaf dan mengganti rugi?
  2. Sebagai anak-anak Allah, perbuatan kita harus sesuai dengan martabat kita. Apa maksudnya?
  3. Mengapa kita harus segera berdamai dengan saudara kita?
  4. Mengapa kita harus menjaga hati nurani kita bebas dari segala tuduhan?

Referensi: Minta Maaf dan Ganti Rugi, Watchman Nee, Yayasan Perpustakaan Injil

Pekerjaan Hati Nurani

Pekerjaan pengudusan dan pembaruan Roh Kudus di dalam manusia berkaitan dan berhubungan dengan pekerjaan hati nurani. Kalau orang beriman ingin dipenuhi Roh Kudus, ingin dikuduskan, ingin hidup sesuai dengan kehendak Allah, ingin sepenuhnya berperilaku menurut Roh, ia tidak bisa tidak mendengarkan suara hati nurani. Kalau kita tidak memberi hati nurani kedudukan yang seharusnya didapat olehnya, kita pasti terjerumus ke dalam kedudukan berperilaku menurut daging. Setia menanggulangi hati nurani adalah langkah  pertama usaha menjadi kudus. Berperilaku menurut hati nurani  adalah tanda kerohanian yang sejati. Kalau orang beriman yang bersifat daging tidak membiarkan hati nurani bekerja dengan tuntas, dia tidak dapat memasuki alam kerohanian. Meskipun orang lain dan dirinya sendiri mengira sudah rohani, tetapi kerohaniannya tidak mempunyai dasar. Dosa dan segala yang tidak sesuai dengan kehendak Allah dan tata krama kaum beriman, kalau tidak ditindak menurut suara hati nurani, berarti dasar kerohanian belum tesusun dengan baik, meskipun di atasnya terbangun banyak cita-cita rohani, semuanya akan runtuh.

Pekerjaan hati nurani adalah bersaksi terhadap kita mengenai sudahkah kita tepat baik terhadap Allah maupun terhadap manusia? Sesuaikah semua yang kita kerjakan, pikirkan, dan ucapkan dengan kehendak Allah? Ketika kehidupan seorang Kristen maju, yang dipersaksikan hati nurani sepenuhnya dikuasai oleh Roh Kudus, ketajaman hati nurani lebih maju dari hari ke hari, sehingga bisa lebih padu dengan suara yang diberikan Roh Kudus. Roh Kudus berbicara kepada kaum beriman melalui hati nurani. Teladan Rasul Paulus dapat kita lihat dalam Roma 9:1: “Suara hatiku (hati nuraniku) turut bersaksi dalam Roh Kudus” menunjukkan hal demikian.

Ketika hati nurani kita berkata salah, bagaimanapun juga kita pasti salah. Kalau hati nurani kita sudah menghakimi kita, kita harus segera bertobat, kita tidak bisa menutupinya atau menyuapnya dengan apa pun. 1 Yohanes 3:20 mengatakan “Bilamana hati kita menuduh kita… Allah lebih besar daripada hati kita.” Teguran hati nurani adalah pembicaraannya kepada kita. Kalau kita bersalah, apa yang ditegur hati nurani pasti akan lebih dihakimi oleh Allah. Tingkat kekudusan Allah pasti lebih tinggi dari pada hati nurani kita. Sebab itu, kalau hati nurani berkata kepada kita bahwa kita salah, kita pasti benar-benar salah.

Kalau kita salah, lalu harus bagaimana? Kalau perkaranya belum kita lakukan, lekaslah berhenti; kalau perkaranya sudah dilakukan, harus bertobat, mengakui dosa, mohon darah adi Tuhan mencuci bersih. Yang paling disayangkan, orang beriman hari ini tidak berbuat demikian. Begitu hati nurani menegur, dia berusaha menyuap hati nurani, berkompromi dengan hati nurani, supaya hati nurani tidak mengeluarkan teguran lagi. Dalam keadaan yang demikian, orang beriman lebih mempunyai dua macam cara.

Pertama, memberi alasan kepada hati nurani, dengan alasan menjelaskan penyebab perilakunya. Maksudnya. Maksudnya kalau alasannya bisa diterima, ini pasti sesuai dengan kehendak Allah, hati nurani juga bisa tenang. Akan tetapi, hati nurani sama denga intuisi, tidak beralasan; hati nurani melalui intuisi mengetahui kehendak Allah, apa saja yang bukan dari kehendak Allah akan dihakimi.  Dia hanya berbicara mewakili Allah, dia tidak mempedulikan alasan apa pun. Karena yang harus diikuti orang beriman itu bukan alasan, juga bukan berarti semua perkara yang masuk akal boleh dilakukan; tetapi kehendak Allah yang diwahyukan dalam intuisi baru boleh dilakukan. Kapan orang beriman melanggar perasaan intuisi saat itu juga hati nurani bersuara menghakimi. Penjelasan dari alasan meskipun bisa memuaskan pikiran, tetapi tidak bisa memuaskan hati nurani. Kalau apa yang dihakimi oleh hati nurani belum disingkirkan,  hati nurani pasti tidak menerima alasan apa pun untuk menghentikan penghakimannya. Pada mulanya hati nurani hanya melakukan kesaksian benar atau salah; ketika hayat rohani orang beriman bertumbuh besar, hati nuraninya tidak saja melakukan kesaksian benar salah, juga mempersaksikan apa yang berasal dari Allah dan apa yang bukan berasal dari Allah. Sebab itu, meskipun banyak perkara menurut pandangan orang baik, tetapi kalau bukan Allah yang mewahyukan demikian, itu hanya orang berimannya saja yang aktif, namun akan dihakimi oleh hati nurani juga.

Kemudian, cara yang kedua yaitu orang beriman melakukan banyak perkara untuk menghibur hati nurani. Di satu pihak, orang beriman ini tidak mau menaati suara hati nurani, tidak mau menuruti petunjuknya untuk mendapatkan perkenan Allah, namun di pihak lain, di takut akan penghakiman hati nurani karena ini akan membuat dia tidak tenang, menyebabkan dia merasa tidak nyaman. Oleh sebab itu, dia berusaha melakukan sesuatu untuk menutupinya. Dia melakukan perkara yang baik untuk menggantikan kehendak Allah. Dia pikir, bukankah pekerjaan yang demikian itu sangat baik? Tetapi kalau diteruskan, tidak peduli bagaimana penilaian orang lain, dari sudut pandang Allah sedikit pun tidak berfaedah dalam kerohanian. Tidak tergantung pada berapa banyak lemaknya, tidak tergantung pada berapa banyak kurbannya, tetapi tergantung berapa banyak ketaatannya kepada Allah. Kalau Allah dalam roh mewahyukan barang-barang itu harus dimusnahkan, tidak peduli seberapa baik motivasinya, semuanya tidak dapat menggerakkan hati Allah. Meskipun ada persembahan yang lebih banyak beberapa kali lipat dari pada permintaan Allah, juga tidak bisa menghentikan suara hati nurani. Hati nurani menghendaki kita taat.

Referensi: Orang yang Paling Lembut; Watchman Nee; Yayasan Perpustakaan Injil.