Pembacaan Alkitab: Kej. 2:18; 1 Tim. 4:1-3; 2 Kor. 6:14a
Jika seorang Kristen ingin menjadi orang Kristen yang baik, maka semua persoalan dasar harus ditanggulangi dengan sebaik-baiknya. Bila ada satu persoalan dasar tidak beres, entah itu masalah keluarga atau masalah profesi, pasti akan timbul banyak masalah di kemudian hari. Dan asal timbul satu masalah saja, itu cukup membuat orang Kristen terhalang, sehingga ia tidak dapat menempuh jalan yang lurus di hadapan Allah.
Pernikahan adalah inisiatif dan ketetapan Allah, yang diadakan sebelum manusia berbuat dosa, bukan sesudahnya, yakni pada Kejadian 2. Surat Ibrani 13:4 mewahyukan kepada kita: ”Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan.” Pernikahan tidak saja harus dihormati, bahkan kudus adanya. Dalam 1 Timotius 4:3 Paulus mengatakan bahwa pada hari-hari terakhir akan muncul ajaran-ajaran setan, dan salah satu di antaranya ialah ”melarang orang kawin”. Ajaran-ajaran setan itu seolah-olah menuntut kesucian. Dalam buku karangan Pember pernah ditandaskan bahwa pada hari-hari yang akan datang, ada orang melarang pernikahan demi menuntut kekudusan, agar menjadi orang suci. Namun, Paulus mengatakan dalam Surat Timotius bahwa itu adalah ajaran setan. Karena itu, kita harus tahu bahwa Allah tidak melarang adanya pernikahan.
Pernikahan adalah ketetapan Allah. Dalam kitab Kejadian, Allah berfirman, ”Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja.” Ini tidak berarti penciptaan manusia itu tidak baik, yang tidak baik ialah karena hanya diciptakan seorang, yaitu hanya tercipta separuh. Lalu pada hari keenam itu juga Allah menciptakan seorang jodoh untuk Adam. Setelah Hawa tercipta, Allah membawanya ke hadapan Adam. Jadi terciptanya Hawa adalah untuk pernikahan. Kata ”jodoh” di sini berarti ”diberikan supaya dia bisa mendapatkan bantuan.” Dalam bahasa Ibrani kata ini berarti ”sepadan dengan dia sehingga dapat membantu dia.” Demikianlah kita nampak kedudukan pernikahan di hadapan Allah. Allah bertujuan agar seorang suami dan seorang istri dapat saling membantu. Sebab itu istrinya disebut jodohnya. Allah menghendaki manusia memiliki suatu kehidupan bersama, yang dapat saling bersekutu dan saling menolong. Inilah tujuan Allah.
Pada zaman Perjanjian Lama, sebelum dosa masuk, Allah telah menetapkan pernikahan. Sampai zaman Perjanjian Baru, dalam 1 Korintus 7 Paulus menunjukkan kepada kita, karena alasan masuknya dosa, maka pernikahan bukan saja tidak dilarang, bahkan menjadi lebih diperlukan. Pernikahan dapat mencegah dosa. Karena itu, Paulus mengatakan, demi mencegah perzinaan dan percabulan, hendaklah setiap laki-laki mempunyai istrinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri (7:2). Baik laki-laki maupun perempuan harus menikah, karena hal itu dapat mencegah dosa. Jadi diadakannya pernikahan terbagi dalam dua aspek yang berbeda. Aspek pertama, yaitu dalam Perjanjian Lama, kita nampak perlunya seorang jodoh untuk menolong kita. Dan aspek kedua, yaitu dalam Perjanjian Baru, jodoh itu diperlukan untuk mencegah perbuatan dosa. Ketiga, dalam 1 Petrus 3:7 Petrus mengatakan bahwa istri adalah ”teman pewaris dari anugerah (kasih karunia).” Dengan kata lain, Allah berkenan suami dan istri bersama-sama melayani Dia. Allah berkenan suami istri Akwila dan Priska melayani Dia, Allah berkenan Petrus dan istrinya, Yudas dan istrinya, bersama-sama melayani Dia. Jadi, dalam pernikahan orang Kristen terdapat tiga sifat atau fungsi asasi: 1. Saling menolong, 2. Mencegah dosa, dan 3. Kedua orang menjadi teman pewaris dari kasih karunia di hadapan Allah. Tidak saja sendirian menjadi orang Kristen dan menerima kasih karunia, melainkan berdua.
Dalam masalah pernikahan Allah telah menetapkan persyaratannya, yaitu siapa yang dapat menikah, dan siapa yang tidak dapat menikah. Dengan jelas sekali Allah menerangkan dalam Alkitab bahwa pernikahan umat Allah hanya terbatas di antara umat Allah. Dengan kata lain, jika ada masalah pernikahan, maka sasarannya adalah umat Allah, tidak seharusnya di luar umat Allah. Dalam Perjanjian Lama terdapat cukup banyak perintah yang menunjukkan kepada kita bahwa kita tidak seharusnya menikah dengan orang di luar umat Allah. Dalam Perjanjian Baru, perkataan Paulus cukup jelas. Ia berkata kepada janda dalam 1 Korintus 7:39, bahwa ”ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu seorang yang percaya.” Orang-orang yang percaya tidak dapat menjadi pasangan orang-orang yang tidak percaya, atau orang percaya tidak dapat menanggung satu kuk dengan orang yang tidak percaya.
Jika orang yang percaya dengan orang tidak percaya bersama-sama menanggung kewajiban keluarga, akibatnya pasti sangat sulit. Sebab itu, sasaran pernikahan yang paling ideal seharusnya adalah saudara dan saudari dalam Tuhan. Jangan sekali-kali Anda mencari orang kafir sekehendak hati. Jika Anda dengan sekehendak hati mencari orang yang tidak percaya, kelak pasti akan sangat menyulitkan Anda. Anda menghela ke kanan, ia menghela ke kiri; Anda menuju ke surga, ia menuju ke dunia; Anda mencari karunia surgawi, ia mencari kekayaan duniawi. Di antara keduanya entah terpaut berapa jauh jaraknya. Itulah sebabnya, Alkitab memerintahkan agar kita menikah dengan orang yang di dalam Tuhan.
Pertanyaan:
- Jelaskan asal mula pernikahan menurut Alkitab.
- Mengapa tidak baik bagi manusia seorang diri saja?
- Menurut Alkitab, apakah tujuan dari pernikahan?
- Mengapa kita sebaiknya menikah dengan saudara atau saudari di dalam Tuhan?
Referensi: Pernikahan, Watchman Nee, Yayasan Perpustakaan Injil