ORANG TUA

Pembacaan Alkitab: Ef. 6:1-4; Ams. 13:24; Kol. 3:21

TANGGUNG JAWAB ORANG TUA

(1). Harus menguduskan diri demi anak-anak. Semua orang yang mempunyai anak-anak harus menguduskan diri demi anak-anaknya. Sebenarnya banyak perkara dapat kita lakukan dengan bebas, tetapi hari ini karena anak-anak kita, maka tidak dapat kita lakukan dengan bebas. Banyak perkataan yang dapat kita ucapkan dengan bebas, tetapi kini karena anak-anak kita, maka tidak dapat kita ucapkan dengan bebas. Jika Anda tak berdaya mengekang diri Anda, Anda tak akan berdaya mengekang anak-anak Anda. Sejak seorang Kristen mempunyai anak, haruslah ia me­nguduskan dirinya. (2). Harus menetapkan sebuah standar moralitas. Pada hari ketika anak Anda dilahirkan, hari itu pula Anda harus mempersembahkan diri. Anda harus menetapkan suatu standar bagi tingkah laku Anda dalam keluarga. Banyak sekali anak-anak yang menjadi rusak bukan karena terpengaruh oleh orang lain, melainkan oleh orang tua mereka sen­di­ri yang kekurangan standar kelu­hur­an dan kekurangan standar rohani, itulah yang menyebabkan putra-putri mereka menjadi rusak. (3). Harus merasa menerima amanat. Kalau Tuhan menitipkan anak-anak itu kepada Anda, Anda tidak dapat datang ke hadapan Tuhan dan mengatakan bahwa yang Tuhan titipkan kepada Anda lima anak tetapi telah hilang tiga; atau yang Tuhan titipkan sepuluh anak, namun telah hilang delapan. Ka­re­na itu, setidak-tidaknya anak-anak yang telah Anda didik bertahun-tahun dalam keluarga Anda itu harus Anda pimpin kepada Tuhan.

Continue reading ORANG TUA

Abraham dan Sunat

Allah berjanji kepada Abraham, bahwa ia akan mela­hirkan seorang anak. Tetapi Abraham tidak menunggu Allah memberi dia seorang anak, malah berdasarkan diri sendiri mengambil isteri lagi untuk melahirkan Ismael. Setelah ia melahirkan Ismael, selama tiga belas tahun, Allah tidak bicara kepadanya (Kejadian 16:16; 17:1). Terlebih lagi ketika Allah berbicara lagi kepada dia, tidak ada rasa penyesalan akan perbuatannya sebaliknya malah menghargai Ismael (Kej. 17:18). Di sini kita menemukan dua prinsip. Di satu sisi, begitu kita bekerja berdasarkan daging, saat itu pula Allah mengesampingkan kita. Namun di sisi lain, Allah tidak pernah kendor terhadap orang yang dipilih-Nya. Kalau Allah ingin mendapatkan orang, orang itu tidak akan bisa melarikan diri dari tangan-Nya. Meskipun Abraham telah gagal, tetapi Allah mau datang mencarinya. Kita akan melihat bagaimana Allah mempersiapkan sebagai bapa umat-Nya hingga dia bisa melahirkan Ishak, anak perjanjian.

Allah kembali mengulang janjinya kepada Abraham. Namun kali ini ada hal yang berbeda dari janji-janji sebelumnya. Untuk pertama kalinya Allah mewahyukan diri-Nya sebagai “Akulah Allah Yang Mahakuasa” (Kej. 17:1). Menurut bahasa aslinya, “Allah yang Mahakuasa” boleh diterjemahkan “Allah yang serba cukup.” Setelah Allah mewahyukan nama ini, Allah mengaju­kan satu permintaan kepada Abraham, “Hiduplah di hada­panKu dengan tidak bercela.” Di sini Allah memperlihatkan kepadanya, kalau ia percaya Allah itu Serba Cukup, ia ha­rus menjadi orang yang sempurna di hadapan Allah. Orang yang tidak bercela, adalah orang yang sempurna, adalah orang yang murni. Allah ber­kata, “Inilah perjanjianKu yang harus kamu pegang, perjan­jian antara Aku dengan kamu serta keturunanmu, yaitu setiap laki-laki di antara kamu harus disunat” (Kej. 17:10). Di sini Allah mengadakan perjanjian dengan syarat yaitu sunat.

Continue reading Abraham dan Sunat

Janji Allah dan Iman Abraham

Setelah kejadian 15 titik fokusnya perjalanan hidup Abraham tidak lagi tanah Kanaan, tapi masalah keturunan. Meskipun dia telah mendengar firman Allah, “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar,” “Aku akan menjadikan keturunanmu seperti debu banyaknya,” namun masalahnya bukanlah tanah Kanaan, masalahnya adalah: anak belum terlahir! Itulah sebabnya ketika Allah datang kepadanya, Abraham mengatakan, “Ya Tuhan Al­lah, apakah yang akan Engkau berikan kepadaku, karena aku akan meninggal dengan tidak mempunyai anak, dan yang akan mewarisi rumahku ialah Eliezer, orang Damsyik itu” (Kej. 15:2). Di sini ada satu pelajaran yang harus kita pelajari: Apakah Allah tidak mengetahuinya? Apakah Allah tidak tahu kalau Abraham perlu seorang anak? Allah tahu! Tetapi ketahuilah, Allah senang kalau kita menjadi temanNya, Allah senang kalau kita menyelami hatiNya, Allah senang kalau kita menyelami pikiranNya, Allah senang kalau kita ber­bicara demikian kepadaNya.

Kemudian terjadi percakapan antara Allah dan Abraham setelah itu Allah menegaskan janji-Nya kepada Abraham, “Anak kandungmu, dialah yang akan menjadi ahli warismu.” lni memperlihat­kan kepada kita, untuk mencapai tujuanNya, Allah tidak melalui mengumpulkan banyak orang, melainkan melalui orang yang dilahirkanNya. Alkitab mencatat, “Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran” (Kej. 15:6). Inilah untuk pertama kali Alkitab menyinggung tentang “iman.” Abraham adalah “bapa iman”. Di sini ada suatu prinsip kalau Allah ingin mendapatkan sesuatu dari banyak orang, terlebih dulu la harus bekerja di atas diri satu orang, terlebih dulu la harus mendapatkan sesuatu dari atas diri seseorang. Allah memerlukan banyak orang yang percaya, untuk itu perlu ada satu orang yang terlebih dulu percaya.

Continue reading Janji Allah dan Iman Abraham

Abraham dan Tiga Ujian

Selanjutnya di tanah Kanaan bukan saja Abraham tinggal di tiga tempat yang memiliki makna rohani yang kaya, tetapi juga mengalami tiga ujian: mengalami bencana kelaparan, Lot memilih tanah, menyelamatkan Lot dan menolak harta Sodom. Ketiga ujian ini membuat Abraham menjadi orang yang semakin matang dan mengenal Allah. Ujian pertama, “Ketika kelaparan timbul di negeri itu, pergilah Abram ke Mesir untuk tinggal di situ sebagai orang asing, sebab hebat kelaparan di negeri itu” (Kej. 12:10). Allah berjanji akan memberikan tanah Kanaan kepada keturunannya dan membawa Abraham ke Betel. Namun, Abraham justru terus berjalan ke Negeb, dekat Mesir. Akhirnya karena kelaparan Abraham turun ke Mesir. Sampai di Mesir, ia berbohong, ia dimarahi oleh Firaun, mendapat malu yang besar (Kejadian 12:11-20). Kemudian ia kembali ke tanah Kanaan. Itulah ujian yang pertama. Peng­ujian ini menyingkapkan Abraham mau tempat ini atau tidak. Abraham tidak melihat betapa berharganya tempat ini. Setelah Abraham gagal di Mesir, ia belajar suatu pelajaran, yakni mengetahui pentingnya tanah Kanaan, mengetahui berbohong itu salah, menipu itu tidak benar, dan menjadi umat Allah yang dimarahi oleh orang Mesir adalah hal yang memalukan. Akhirnya Abraham kembali ke tempat semula (Kej. 13:1-3). Di tempat ini, ia bisa memuliakan Allah.

Setelah ujian pertama, Abraham menghargai tanah Kanaan namun mudah sekali dengan kekuatan daging atau diri sendiri mempertahankan tanah tersebut. Sebab itu datanglah ujian kedua, “Juga Lot, yang ikut ber­sama-sama dengan Abram, mempunyai domba, dan lembu dan kemah. Tetapi negeri itu tidak cukup luas bagi mereka untuk diam bersama-sama sebab harta milik mereka amat banyak, sehingga mereka tidak dapat diam bersama-sama. Karena itu terjadilah perkelahian antara para gembala Abram dan para gembala Lot” (Kej. 13:5-7). Kemudian Abraham berkata kepad Lot, “Baiklah pisahkan dirimu dari padaku, jika engkau ke kiri, maka aku ke kanan, jika engkau ke kanan, maka aku ke kiri” (Kej. 13:9). Melalui perkara ini di satu pihak Allah merampungkan panggilan-Nya atas diri Abraham supaya Abraham pergi dari sanak saudaranya. Panggilan Allah hanya kepada Abraham, sedangkan Lot tidak. Ini menunjukan orang yang mendapatkan panggilan Allah untuk menjadi satu ministri, tidak bisa membawa orang yang tidak mendapat¬kan panggilan Allah bersama-sama menjadi minister. Di pihak lainnya, Allah memberi Abraham satu pelajaran yaitu tanah Kanaan yang dijanjikan Allah kepadanya, tidak perlu ia pertahankan dengan cara daging. Kita harus belajar, terhadap barang yang Allah berikan kepada kita, kita percaya Allah bisa menjaganya, tidak perlu kita dengan cara dunia menjaganya. Semoga Tuhan membelaskasihani kita, menyelamatkan kita dari tangan kita sendiri, terlepas dari cara kita sendiri. Setelah mele­wati pengujian yang kedua, Abraham benar-benar telah maju; kini ia datang dan menetap di Hebron (Kej. 13:18)

Ujian ketiga berkenaan dengan tertawannya Lot (Kej. 14:11-12). Ketika Abraham mendengar berita ini, “maka dikerahkannyalah orang-orangnya yang terlatih, yakni mereka yang lahir di rumahnya, tiga ratus delapan belas orang banyaknya, lalu mengejar musuh sampai ke Dan” (Kej. 14:14). Ti­dak peduli bagaimana perlakuan Lot kepadanya, dia masih menganggap Lot adalah saudaranya sendiri. Abraham menang terhadap egonya sendiri. Hanya orang yang berdiri pada kedudukan Hebron, persekutuan, baru bisa melakukan peperangan rohani. Peperangan memerlukan kekuatan. Untuk memiliki kekuatan, di dalam batin harus tidak ada rasa tidak terima. Abraham berhasil merebut kembali seluruh tawanan dan juga harta benda yang dirampas musuh. Ber­katalah raja Sodom kepada Abraham, “Berikanlah kepadaku orang-orang itu, dan ambillah untukmu harta benda itu” (Ke­jadian 14:21). Sebaliknya, kata Abraham kepada raja Sodom, “Aku bersumpah demi TUHAN, Allah Yang Mahatinggi, Pencipta langit dan bumi: Aku tidak akan mengambil apa-apa dari kepunyaanmu itu, sepotong benang atau tali kasutpun tidak, supaya engkau jangan dapat berkata: Aku telah membuat Abram menjadi kaya.” Abraham berdiri pada satu kedudukan yang memperlihatkan kepada semua orang, selain TUHAN, tidak ada seorangpun yang dapat memberinya sesuatu.

Abraham sama dengan kita, kaum beriman, hari ini. Ia pernah gagal ketika dia turun di Mesir. Kegagalan merupakan cara Allah menanggulangi kita supaya kita mengenal bahwa panggilan Allah adalah berasal dari rahmat Allah, bukan karenan kebaikan kita. Seperti halnya melalui Lot Allah mendisiplin Abraham, demikian juga Allah akan menuntaskan panggilannya kepada setiap dari kita dan melepaskan kita dari mempertahankan dan melindungi diri sendiri. Ketika Abraham dibawa Allah terlepas dari ego dan memenangkan peperangan, maka Melkisedek menjumpai dia. Karena di sini ada seorang yang berdiri bagi Allah di bumi, maka Melkisedek berkata, bahwa Allah adalah “TUHAN, Pe­milik langit dan bumi.” Ini menyatakan, karena sekarang di bumi ada Abraham yang berdiri bagi Allah, maka tidak hanya langit adalah milik-Nya, bumi juga milik-Nya. Kiranya di atas kita, kaum beriman-Nya, Allah bisa mendirikan kerajaan-Nya di bumi.

Referensi: Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub; Watchman Nee; Yayasan Perpustakaan Injil.

Abraham dan Tanah Kanaan

Setelah panggilan kedua, Abraham tinggal di Kanaan. Allah menampakan diri-Nya kembali kepada Abraham. Dalam perjalanan  tanah Kanaan, Alkitab mencatat ada tiga tempat dimana dia mendirikan mezbah bagi Allah: Sikhem, Betel, dan Hebron. Tercatat pula bahwa tiga kali Abraham mengalami ujian dari Allah. Sebab itu, perlu memperhatikan ciri dan makna dari ketiga tempat ini serta juga pengujian yang Abraham terima sebagai suatu pengalaman yang perlu dipelajari dan dialami oleh umat Allah hari ini.

Tempat pertama adalah Sikhem, “Abram . . . sampai ke suatu tempat dekat Sikhem, yakni pohon tarbantin di More . . . ketika itu TUHAN menam­pakkan diri kepada Abraham dan berf’irman: Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu. Maka didirikan­nya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah menampakkan diri kepadanya” (Kejadian 12:6-7). “Sikhem” berarti “bahu”. “Bahu” adalah bagian yang paling kuat di atas diri manusia. Sebab itu, “Sikhem” berarti “kekuatan”. Hayat Tuhan adalah hayat yang membuat orang puas (Yoh. 4:16). Orang yang di dalamnya puas adalah orang yang di dalamnya paling kuat sehingga memiliki kekuatan untuk memikul pikulan berat.  Di Sikhem ada pohon tarbantin di More. “More” da­lam bahasa aslinya berarti “pengajar/guru” atau “penga­jaran”; ini berhubungan dengan aspek pengetahuan. Ini berarti pengetahuan adalah hasil dari kekuat­an. Dengan kata lain, pengetahuan rohani yang sejati ber­asal dari mendapatkan kekuatan Kristus. Dalam perkara ro­hani “orang yang pandai” mungkin malah harus menempuh jalan yang berliku-liku, karena ia bersandar kepada kepan­daiannya sendiri, sehingga ia meninggalkan jalan rohani le­bih jauh. Yang Allah ingin berikan adalah adalah pengetahuan yang di dalam. Allah perlu bejana untuk memulihkan kesaksian-Nya dan cara Allah mendapatkannya melalui memberi kepuasaan, kekuatan kehidupan. Pengetahuan yang berasal dari inilah yang akhirnya bisa dibagikan kepada orang lain. Di depan Allah, kita harus waspada terhadap satu hal, yaitu jangan memberitakan teori kepada orang. Kita sendiri harus mempunyai barang rohani, baru bisa mem­bagikan barang ini kepada orang lain.

Continue reading Abraham dan Tanah Kanaan

Waktu Peremukan

Tuhan meremukan insan lahiriah kita dengan dua macam tindakan yang berbeda. Tindakan secara tiba-tiba dan secara berangsur-angsur. Atas diri seseorang mungkin Tuhan membongkarnya secara tiba-tiba, kemudian baru secara berangsur-angsur. Ada juga orang yang setiap hari ada saja urusan sulit yang harus dia hadapi sampai pada suatu hari Tuhan membongkar dia secara hebat. pada diri sebagian orang pada prinsipnya sama, kalau tidak secara berangsur-angsur dulu tentu secara tiba-tiba lebih dahulu.

Waktu peremukan pada diri seseorang tidak bisa dipersingkat, sebaliknya bisa diperpanjang. Pada diri seseorang Tuhan hanya memerlukan beberapa tahun sudah menyelesaikan pekerjaan-Nya. Sebaliknya pada diri orang lain Tuhan memerlukan waktu yang lebih lama. Ini sungguh adalah perkara yang serius. Tidak ada yang lebih kasihan daripada memboroskan waktu Allah.

Continue reading Waktu Peremukan

Panggilan Abraham

Allah ingin men­dapatkan sekelompok orang menjadi umat-Nya. Orang yang menjadi umat Allah bukan orang yang semba­rangan. Mereka harus memiliki pengalaman Abraham, ditambah pengalaman Ishak, ditam­bah pengalaman Yakub. Sebab itu terlebih dahulu kita melihat pengalaman Abraham.

Abraham merupakan permulaan pekerjaan pemulihan Allah. Allah perlu memulihkan kerena sejak kejatuhan manusia pertama, Adam, dalam dosa ada satu garis dosa yang terus turun. Sekalipun sebelum Abraham ada Habel, Henokh, dan Nuh yang baik secara perorangan namun tidak bisa membereskan situasi dosa. Ada tiga hal yang menunjukan bahwa Abraham adalah permulaan pekerjaan pemulihan ini. Pertama, melalui Abraham, Juruselamat datang. Penebusan telah dirampungkan oleh Tuhan Yesus yang melaluinya Allah akan melakukan penyelamatan. Sebab itu, permulaan Perjanjian Baru yang menyinggung tentang Injil, dimulai dari Abraham. Pemulihan Allah masih berlanjut sampai hari ini, bahkan sampai Kerajaan seribu tahun pun masih akan berlanjut. Kedua, Tuhan Yesus menganggap Abraham sebagai titik permulaan dengan mengatakan kepada orang Yahudi bahwa nenek moyang mereka adalah Abraham, bukan Adam (Yoh. 8:37, 56). Ketiga, Alkitab mencatat bahwa Abraham adalah bapa semua orang yang percaya Tuhan (Rm. 4:11, 16).

Sebab itulah pelajaran pertama untuk menjadi umat Allah adalah belajar pelajaran dari Abraham. Tujuan dan proses Allah memanggil Abraham berbeda dengan tokoh-tokoh Alkitab sebelumnya. Abraham seorang yang tinggal di Ur-Kasdim dan berasal dari keluarga yang menyembah berhala (Yos. 24:2), namun Allah memanggilnya. Ketika Allah memanggil Abraham, Allah dengan jelas memberitahu dia, untuk apa Allah me­manggil dia. Inilah yang membedakan panggilannya. Tujuan pemilihan dan pemanggilan Abraham ada tiga: Pertama, pergi ke negeri yang Allah tunjuk­kan kepadanya. Kedua, supaya ia menjadi bangsa yang be­sar. Ketiga, olehnya semua kaum di muka bumi akan men­dapat berkat.

Continue reading Panggilan Abraham

Keselamatan dalam Kematian dan Kebangkitan-Nya

Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya! (Roma 5:10)

Kematian dan kebangkitan Kristus memberi kita hayat baru. Sama seperti Dia mati untuk kita, Dia juga dibangkitkan bagi kita (Rom. 4:25). Sama seperti kita membutuhkan kematian-Nya, kita juga membutuhkan kebangkitan-Nya. Ketiadaan salah satu dari ini akan mengurangi Injil kepada kesia-siaan. Melalui kematian Tuhan Yesus kita diselamatkan dari segala sesuatu milik Adam, yaitu dapat dikatakan dari alamiah. Oleh kebangkitan-Nya kita dapat masuk ke dalam segala sesuatu yang milik Kristus, yaitu dapat dikatakan melampaui kealamiahan. Kematiannya menyelamatkan kita dari posisi dan pengalaman seorang pendosa agar kita tidak lagi menjadi pendosa-pendosa. Kebangkitan-Nya membuat kita benar, mendapatkan posisi dan pengalaman orang-orang benar. “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” (2 Kor 5:17).

Tidak Akan Dibiarkan

Karena Allah telah berfirman: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” (Ibrani 13:5)

Seorang anak Allah meminta-Nya janji mengenai mata pencahariannya. Suatu hari dia membaca firman: “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” (Ibr. 13:5). Dia terkejut dan bersukacita oleh firman ini. Janji sedemikian memiliki syarat: yang pertama harus bebas dari keserakahan akan keuntungan dan puas dengan apa yang sudah dia miliki, sebelum ia dapat mengalami tunjuangan suplai Tuhan yang berhuni. Dia mengatakan Amin dan Amin akan janji ini. Dalam dua puluh tahun terakhirnya di satu sisi dia mempertahankan prinsip bahwa “jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.” (2 Tes. 3:10) dan di sisi lain mengalami Tuhan yang menjaga tepung dalam tempayan tidak habis dan minyak dalam buli-buli tidak berkurang (lihat 1 Raja-raja 17:8-16). Tuhan tidak menyalahi dia ataupun meninggalkan dia.

Mengasihi Tidak Diajarkan

Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. (1 Yohanes 4:7)

Setelah anak seorang saudara dalam Kristus lahir. Dia mendapat pertanyaan, “Sekarang anda telah menjadi seorang ayah, apakah engkau mengasihi anakmu?” Jawabannya adalah: “Seminggu sebelum saya menjadi seorang ayah, saya terus berpikir bagaimana saya harus mencintai anakku Tapi begitu anak saya lahir, saat saya melihatnya, hati saya secara alami pergi kepadanya dan saya secara sederhana mencintainya.” Kita lihat di sini bagaimana kasih manusia muncul dari kesadaran yang di dalam, itu tidak diajarkan dari luar. Demikian juga, semua anak-anak Allah yang telah dibeli dengan darah Anak Domba dan menerima hayat Allah dan dibaptis ke dalam tubuh Kristus tidak bisa tidak tergerak dari dalam untuk mengasihi satu sama lain sebagai anggota dari tubuh yang sama.