SUAMI ISTRI

Pembacaan Alkitab: Kol. 3:18-19; 1 Ptr. 3:1-7; Ef. 5:22-23

Dalam Alkitab terdapat ajaran-ajaran tertentu bagi orang yang telah menikah, baik bagi suami maupun istri. Sebelum seseorang menikah, ia boleh memilih dan menikahi orang yang baginya paling sedikit menimbulkan kesulitan. Namun, setelah ia menikahinya, di hadapan Allah ia harus belajar bagaimana menjadi suami atau istri, untuk mengurangi kesulitan keluarga maupun kesulitan gereja. Bagi semua orang yang telah menikah, perkara pertama yang harus ia nampak ialah bahwa menjadi suami atau istri adalah perkara yang paling serius. Setiap orang harus sudah mempersiapkan diri secukupnya baru dapat mengemban suatu profesi. Kesulitan di antara suami dan istri, justru disebabkan tidak adanya persiapan. Sepasang insan itu seolah-olah dengan tiba-tiba ditarik orang ke dalam pernikahan, tanpa persiapan sedikit pun; keluarga demikian pasti tidak baik.

Setelah seseorang menikah, perkara pertama yang harus ia pelajari ialah harus menutup mata, tidak melihat kelemahan pihak pasangannya. Tujuan pernikahan bukan untuk mencari kelemahan atau kesulitan pihak pasangan. Orang yang telah menikah harus belajar menutup mata, harus belajar mencintai pihak pasangannya, dan tak perlu belajar menolong atau mengoreksi pihak pasangannya. Selanjutnya, suami isteri harus belajar saling menuruti. Apakah arti menuruti? Menuruti berarti saya pergi ke pertengahan jalan untuk menjemput dia. Menuruti berarti selalu mau memahami kesukaran pasangannya. Setelah menikah, haruslah belajar mengapresiasikan kelebihan pihak pasangan. Dalam keluarga, pada satu aspek harus belajar menutup mata, saling menuruti, pada aspek lainnya harus belajar mengapresiasikan kelebihan pihak pasangan. Selain itu dalam keluarga harus ada sopan santun. Problema keluarga sering kali disebabkan perkara-perkara yang kecil. Kapan sopan santun itu hilang, maka aspek-aspek kejelekan dari hidup manusia akan timbul. Karena itu, tak peduli sangat dikenalnya seseorang, sopan santun tetap harus dipelihara.

Jika keluarga ingin menjadi baik, haruslah menumbuhkan kasih sayang, jangan mematikan kasih sayang. Kasih adalah dasar pernikahan, kasih juga adalah dasar keluarga. Kasih menarik sepasang insan untuk menikah, kasih pun memelihara sepasang insan itu untuk berada dalam keluarga. Kalau Anda merawatnya baik-baik, ia akan mudah sekali bertumbuh. Satu syarat lain lagi yang sangat penting dalam keluarga, yaitu tidak boleh egois. Satu Korintus 7 mengatakan bahwa jika seorang menikah, ia harus menyenangkan pasangannya. Boleh jadi egois terhitung sebagai salah satu penyebab yang terbesar dalam kesulitan keluarga. Dalam keluarga juga harus memberi pihak pasangan memiliki kebebasan, rahasia dan benda-benda pribadi secukupnya. Kalau Anda menyeret kebebasannya, ia akan kehilangan kebebasan. Dan perkara yang sangat kecil mungkin akan menimbulkan kesulitan yang sangat besar.

Bila terjadi kesulitan antara suami dengan istri, bagaimana cara menyelesaikannya? Dalam keluarga harus saling mengaku dosa dan saling mengampuni. Banyak kesalahan yang tak dapat dilewatkan dengan sembarangan, melainkan harus diakui. Kesalahan diri sendiri tidak boleh dibiarkan berlalu dengan sembarangan, bagaimanapun harus diakui. Sedang kesalahan pihak pasangan harus selalu diampuni. Untuk menyelesaikan kesulitan keluarga, agar keluarga dapat hidup dengan baik, maka haruslah baik pada aspek positifnya, terutama bagi orang-tua yang telah mempunyai anak, harus menyediakan waktu untuk berdoa bersama, bersama-sama menantikan Allah serta bersama-sama mempersekutukan perkara rohani. Baik istri maupun suami, dalam perkara tertentu harus rela menerima penghakiman di bawah terang ilahi. Suami tidak mempertahankan gengsi suami, istri pun tidak mempertahankan gengsi istri, melainkan samasama rela menerima penghakiman di bawah terang Allah. Harus ada dialog rohani. Adakalanya berdoa bersama, ada kalanya bersekutu bersama. Teristimewa bagi mereka yang telah mempunyai anak, harus mencari kesempatan untuk lebih sering datang bersama ke hadapan Allah. Jika menginginkan keluarga baik, maka suami dengan istri, keduanya harus hidup di hadapan Allah. Jika keduanya tidak hidup di hadapan Allah, keluarga ini pasti tidak akan berlangsung dengan baik.

Kalau pelajaran tersebut tidak dipelajari dengan cermat di hadapan Allah, maka semua kesulitan keluarga akan menjadi kesulitan gereja. Ingatlah, jika seseorang dalam keluarga tidak dapat bersehati dan tinggal bersama dengan istrinya, ia pasti tidak mungkin bersehati dengan saudara saudari dalam gereja. Ini adalah satu perkara yang dapat dipastikan. Kalau dalam keluarga Anda sering bertengkar dengan istri, tak mungkin Anda masih bisa bernyanyi haleluya dengan nyaring dalam gereja. Anda harus bisa hidup dengan baik dalam keluarga, barulah Anda dapat hidup dengan baik dalam gereja. Gereja yang baik harus ditunjang oleh keluarga yang baik. Para suami dan istri harus baik. Kalau demikian, gereja pasti tidak ada kesulitan.

Pertanyaan:

  1. Mengapa menjadi suami istri adalah suatu perkara yang sangat serius?
  2. Mengapa setelah menikah, baik suami maupun istri wajib “menutup mata”?
  3. Bagaimana menumbuhkan kasih sayang di dalam hidup pernikahan?
  4. Bila terjadi kesulitan antara suami dengan istri, bagaimana cara menyelesaikannya?

Referensi: Suami Istri, Watchman Nee, Yayasan Perpustakaan Injil

MEMILIH JODOH

Pembacaan Alkitab: Ams. 31:30; 1 Kor. 7:7-9; Kej. 2:18

PERLUNYA MEMILIH JODOH

Pada waktu Allah menciptakan manusia, dalam pandangan-Nya, Adam dan Hawa masing-masing me­rupakan manusia separuh. Setelah kedua manusia itu disatukan, barulah menjadi seorang manusia yang sem­purna dan utuh. Kita percaya bahwa orang yang di­jodohkan oleh Allah tidak boleh bercerai. Karena itu, ki­ta harus menemukan orang separuh lainnya yang Allah jodohkan dengan kita.

Baik tidaknya pernikahan saudara saudari muda, besar sekali pengaruhnya bagi gereja, karenanya sau­dara saudari yang dewasa tidak dapat tidak harus memperhatikan masalah ini. Jika saudara saudari muda dalam masalah pernikahan tidak berjalan di jalan yang lurus dan menimbulkan kesulitan, kesulitan keluarga mereka kelak juga akan men­jadi ke­sulitan gereja, sehingga beban yang harus kita tanggung akan menjadi berat sekali.

Continue reading MEMILIH JODOH

PERNIKAHAN

Pembacaan Alkitab: Kej. 2:18; 1 Tim. 4:1-3; 2 Kor. 6:14a

Jika seorang Kristen ingin menjadi orang Kristen yang baik, maka semua persoalan dasar harus ditang­gulangi dengan sebaik-baiknya. Bila ada satu persoalan dasar tidak beres, entah itu masalah keluarga atau ma­salah profesi, pasti akan timbul banyak masalah di ke­mu­dian hari. Dan asal timbul satu masalah saja, itu cu­kup membuat orang Kristen terhalang, sehingga ia ti­dak dapat menempuh jalan yang lurus di hadapan Allah.

Pernikahan adalah inisiatif dan ketetapan Allah, yang diada­kan sebelum manusia berbuat dosa, bukan sesudahnya, yakni pada Keja­dian 2. Surat Ibrani 13:4 mewahyukan kepada kita: ”Hen­dak­lah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan.” Per­ni­kahan tidak saja harus dihormati, bahkan kudus ada­nya. Dalam 1 Timotius 4:3 Paulus mengatakan bahwa pa­da hari-hari terakhir akan muncul ajaran-ajaran setan, dan salah satu di antaranya ialah ”melarang orang ka­win”. Ajaran-ajaran setan itu seolah-olah menuntut kesucian. Dalam buku ka­rangan Pember pernah ditandaskan bahwa pada hari-hari yang akan datang, ada orang melarang pernikahan demi me­nun­tut kekudusan, agar menjadi orang suci. Namun, Paulus menga­takan dalam Surat Timotius bahwa itu adalah ajaran setan. Ka­rena itu, kita harus tahu bahwa Allah tidak melarang adanya pernikahan.

Pernikahan adalah ketetapan Allah. Dalam kitab Ke­jadian, Allah berfirman, ”Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja.” Ini tidak berarti penciptaan manusia itu tidak baik, yang tidak baik ialah karena ha­nya diciptakan seorang, yaitu hanya tercipta separuh. Lalu pada hari keenam itu juga Allah menciptakan seorang jodoh untuk Adam. Setelah Hawa tercipta, Allah membawanya ke hadapan Adam. Jadi terciptanya Hawa adalah untuk pernikahan. Kata ”jodoh” di sini berarti ”diberikan supaya dia bi­sa mendapatkan bantuan.” Dalam bahasa Ibrani kata ini berarti ”sepadan dengan dia sehingga dapat mem­ban­tu dia.” Demikianlah kita nampak kedudukan pernikahan di hadapan Allah. Allah bertujuan agar seorang suami dan seorang istri dapat saling membantu. Sebab itu istrinya disebut jodohnya. Allah menghendaki manusia memiliki suatu kehidupan bersama, yang dapat saling bersekutu dan saling menolong. Inilah tujuan Allah.

Pada zaman Perjanjian Lama, sebelum dosa masuk, Allah telah menetapkan pernikahan. Sampai zaman Per­janjian Baru, dalam 1 Korintus 7 Paulus menunjukkan kepada kita, karena alasan masuknya dosa, maka per­ni­kahan bukan saja tidak dilarang, bahkan menjadi lebih diperlukan. Pernikahan dapat mencegah dosa. Karena itu, Paulus mengatakan, demi mencegah perzinaan dan percabulan, hen­daklah setiap laki-laki mempunyai istrinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri (7:2). Baik laki-laki maupun perempuan ha­rus menikah, karena hal itu dapat mencegah dosa. Jadi diadakannya pernikahan terbagi dalam dua as­pek yang berbeda. Aspek pertama, yaitu dalam Perjanji­an Lama, kita nampak perlunya seorang jodoh untuk me­­nolong kita. Dan aspek kedua, yaitu dalam Perjanjian Ba­ru, jodoh itu diperlukan untuk mencegah perbuatan dosa. Ketiga, dalam 1 Petrus 3:7 Petrus mengatakan bah­wa istri adalah ”teman pewaris dari anugerah (kasih karu­nia).” Dengan kata lain, Allah berkenan suami dan istri bersama-sama melayani Dia. Allah berkenan suami istri Akwila dan Priska melayani Dia, Allah berkenan Petrus dan istrinya, Yudas dan istrinya, bersama-sama mela­yani Dia. Jadi, dalam pernikahan orang Kristen terdapat tiga sifat atau fungsi asasi: 1. Saling menolong, 2. Mencegah dosa, dan 3. Kedua orang menjadi teman pewaris dari kasih karunia di hadapan Allah. Tidak saja sendirian menjadi orang Kristen dan menerima kasih karunia, me­lainkan berdua.

Dalam masalah pernikahan Allah telah menetapkan persyaratannya, yaitu siapa yang dapat menikah, dan siapa yang tidak dapat menikah. Dengan jelas sekali Allah menerangkan dalam Alkitab bahwa pernikahan umat Allah hanya terbatas di antara umat Allah. De­ngan kata lain, jika ada masalah pernikahan, maka sasarannya adalah umat Allah, tidak seharusnya di luar umat Allah. Dalam Perjanjian Lama terdapat cukup banyak perintah yang menunjukkan kepada kita bahwa kita ti­dak seharusnya menikah dengan orang di luar umat Allah. Dalam Perjanjian Baru, perkataan Paulus cukup jelas. Ia berkata kepada janda dalam 1 Korintus 7:39, bah­wa ”ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang di­kehendakinya, asal orang itu seorang yang percaya.” Orang-orang yang percaya tidak dapat menjadi pasangan orang-orang yang tidak per­caya, atau orang percaya tidak dapat menanggung satu kuk dengan orang yang tidak percaya.

Jika orang yang percaya dengan orang tidak percaya bersama-sa­ma menanggung kewajiban keluarga, akibatnya pasti sa­ngat sulit. Sebab itu, sasaran pernikahan yang paling ideal seha­rusnya adalah saudara dan saudari dalam Tu­han. Jangan sekali-kali Anda mencari orang kafir sekehendak hati. Jika Anda dengan sekehendak hati men­cari orang yang tidak percaya, kelak pasti akan sangat menyulitkan An­da. Anda menghela ke kanan, ia menghela ke kiri; An­da menuju ke surga, ia menuju ke dunia; Anda men­cari ka­ru­nia surgawi, ia mencari kekayaan duniawi. Di antara keduanya entah terpaut berapa jauh jaraknya. Itulah sebabnya, Alkitab memerintahkan agar kita me­nikah dengan orang yang di dalam Tuhan.

Pertanyaan:

  1. Jelaskan asal mula pernikahan menurut Alkitab.
  2. Mengapa tidak baik bagi manusia seorang diri saja?
  3. Menurut Alkitab, apakah tujuan dari pernikahan?
  4. Mengapa kita sebaiknya menikah dengan saudara atau saudari di dalam Tuhan?

Referensi: Pernikahan, Watchman Nee, Yayasan Perpustakaan Injil

PROFESI ORANG BERIMAN

Pembacaan Alkitab: 2 Tes. 3:10-12

Profesi bagi orang Kristen merupakan satu perkara yang sangat penting. Kekeliruan dalam memilih profesi akan mengakibatkan perjalanan kris­tianinya tidak dapat ditempuh dengan baik. Sebab itu, setiap orang Kristen wajib menaruh perhatian atas hal pemilihan profesi. Ketika Allah menciptakan manusia, Ia telah meng­atur profesi bagi manusia. Profesi Adam dan Hawa pada mulanya adalah pemelihara taman, mengawasi dan mengelola taman Eden yang diciptakan oleh Allah. Jadi, profesi merupakan suatu hal yang sudah ada se­belum manusia berdosa. Setelah Adam dan Hawa berbuat dosa, bumi tidak lagi memberikan hasil kepada mereka, mereka harus mencari makan dengan mencucurkan keringat, yaitu menggarap tanah dan bercocok tanam, barulah dapat memperoleh makanan (Kej. 3:17-19). Hal ini menunjuk­kan kepada kita bahwa setelah manusia jatuh, profesi yang Allah tetapkan bagi mereka adalah bertani. Sampai hari ini kita harus mengakui bahwa umumnya para petanilah yang jauh lebih polos dan jujur daripada orang-orang yang berprofesi lain. Pada mulanya Allah menetapkan bahwa manusia harus bertani.

Sampai pada Kejadian 4, kita nampak Kain bercocok tanam, Habel beternak kambing domba. Kini jenis profesi bertambah dengan beternak. Jadi, beternak juga merupakan sejenis profesi yang Allah perkenan. Selanjutnya, ketika jumlah manusia di bumi sema­kin bertambah, muncullah berbagai jenis pertukangan, antara lain, tukang tembaga, tukang pembuat alat mu­sik, dan lain sebagainya (Kej. 4:22). Sampai pada masa pembangunan menara Babel, ada tukang batu, tukang kayu; tukang bangunan (Kej. 11:3-4). Sampai Kejadian 12, kita nampak Allah memanggil dan memilih Abraham. Profesi Abraham juga beternak, ia memiliki banyak lembu dan kambing. Demikian pula Yakub. Beternak merupakan profesi utama mereka.

Ketika orang Israel berada di Mesir, mereka be­kerja pada Firaun sebagai tukang membuat bata. Tetapi setelah mereka keluar dari Mesir, Allah menjanjikan mereka sebuah negeri yang kaya akan susu dan madu. Di sana jelas terdapat dua jenis profesi: beternak dan bertani. Buah-buah anggur di sana dilukiskan demikian besarnya, sehingga tandan-tandan anggur harus dipikul oleh dua orang (Bil. 13:23), ini jelas merupakan usaha pertanian. Allah berkata bahwa jika mereka menging­kari Allah dan menyembah berhala, maka Allah akan menyuruh langit seperti besi, bumi seperti tembaga, yakni tidak memberikan hasil kepada mereka (Im. 26:19-20). Ini pun jelas sekali menunjukkan bahwa pro­fesi mereka di negeri Kanaan yang dijanjikan itu ialah bertani dan beternak. Demikianlah beberapa jenis pro­fesi dalam Perjanjian Lama.

Pada masa Perjanjian Baru, dalam perumpamaan yang dikatakan oleh Tuhan Yesus dalam Injil Matius, kita tahu bahwa bertani merupakan satu profesi yang asasi. Misalkan, pada pasal 13 tercantum perumpamaan penabur benih. Pada pasal 20 terdapat perumpamaan tentang kebun anggur. Pada Lukas 17 menyinggung ten­tang seorang hamba yang kembali setelah membajak tanah atau menggembalakan ternak. Pada Yohanes 10 Tuhan mengiaskan diri-Nya sebagai gembala yang baik, yang menyerahkan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya. Jadi, bertani dan beternak merupakan profesi asasi yang Allah tetapkan bagi umat-Nya.

Di antara kedua belas murid yang dipanggil Tuhan, sebagian besar adalah nelayan. Terhadap murid yang asalnya sebagai pemungut cukai, Tuhan menyuruhnya meninggalkan profesi tersebut, tetapi kepada murid-murid yang asalnya sebagai nelayan, Tuhan berpesan pada mereka, mulai sekarang dan seterusnya mereka harus menjadi penjala manusia. Jadi menjadi nelayan juga merupakan profesi yang Allah perkenan. Lukas menjadi tabib, Paulus menjadi pembuat ten­da. Kedua profesi ini agak berlainan, yang terakhir merupakan usaha manufaktur atau industri atau peng­rajin. Kalau usaha pertanian berproduksi secara lang­sung, maka usaha perajutan, pertenunan, penjahitan, atau membuat tenda, itu tergolong sebagai usaha manufaktur atau industri. Di antara murid-murid Tuhan ada yang menjadi petani, ada yang menjadi pe­ternak, ada yang menjadi tukang, ada yang menjadi nelayan. Kalau mau ditambah lagi satu profesi, itu adalah pekerja (karyawan; bukan pekerja rohani); sebab dalam Perjanjian Baru dikatakan, “Sepatutnyalah pekerja memperoleh upah.” Pekerja adalah orang yang memper­oleh upah dengan mengeluarkan tenaga atau kepan­daian; ini pun satu profesi yang sesuai dengan Alkitab.

Dalam Alkitab Allah telah mengatur sedemikian banyak profesi bagi manusia, yang di dalamnya kita menemukan satu prinsip asasi, yaitu semua yang diper­oleh atau diterima manusia berasal dari alam, atau upah yang manusia peroleh dari pengorbanan waktu dan tenaga. Inilah prinsip profesi yang tercantum dalam Alkitab. Semoga saudara saudari yang baru percaya semuanya diperkenan Allah dalam hal profesi.

Pertanyaan:

  1. Mengapa perihal memilih pekerjaan menjadi penting bagi orang Kristen?
  2. Pada prinsipnya, pekerjaan seperti apa yang yang diperkenan Allah?
  3. Mengapa kita tidak dianjurkan memilih pekerjaan yang bertentangan dengan status kita sebagai anak-anak Allah? Berikan beberapa contoh.

Referensi: Profesi Kaum Imani, Watchman Nee, Yayasan Perpustakaan Injil

CARA MENGATUR KEUANGAN

Pembacaan Alkitab: Luk. 6:38; 2 Kor. 9:6; 1 Tim. 6:7-10; Mal. 3:10; Ams. 11:24; Flp. 4:15-19

HARUS MENGATUR KEUANGAN SESUAI DENGAN PRINSIP ALLAH

Cara orang Kristen mengatur keuangan sama sekali berbeda dengan cara orang dunia. Cara orang dunia ada­lah menyimpan, tetapi cara orang Kristen adalah memberi. Allah memberi janji kepada kita bahwa kita bisa hidup tanpa kekurangan di dunia ini. Burung-burung di udara tidak kekurangan makanan; bunga bakung juga tidak kekurangan pakaian yang indah; demikian pula, anak-anak Allah tidak akan ke­kurangan sandang pangan. Kalau anak-anak Allah sam­pai mengalami kekurangan, tentu ada sebabnya, ada penyakitnya. Setiap saudara saudari yang mengalami kesukaran dalam masalah penghasilan, pasti dikarena­kan cara mengatur keuangan mereka tidak menurut prinsip Allah. Sebab itu, setiap anak Allah harus belajar mengatur keuangan.

BERILAH DAN KAMU AKAN DIBERI

Alkitab memperlihatkan satu prinsip utama kepada kita: Kalau ingin berkelimpahan, harus memberi; kalau ingin miskin, simpanlah, tahanlah. Siapa saja yang hanya memikirkan dirinya sendiri, pasti akan menjadi orang miskin; tetapi siapa saja yang belajar memberi kepada orang, pasti akan berkelimpahan. Ke­nyataannya memang demikian, sebab Allah berfirman demikian. Bila Anda ingin terhindar dari kemiskinan, Anda harus selalu memberi. Semakin Anda memberi kepada orang, Allah pun semakin memberi kepada Anda.

Saudara saudari, sejak permulaan Anda menjadi orang Kristen, Anda harus mempelajari satu pelajaran dasar dalam hal memakai uang. Kalau cara orang dunia adalah pengeluaran diukur dengan penerimaan, tetapi kita adalah penerimaan diukur dengan pengeluaran. Jadi, berapa yang Anda keluarkan, berapa pula yang Anda terima. Sebab itu, semua orang yang cinta uang, semua orang yang kikir, adalah orang-orang yang tidak mungkin menerima uang dari Allah, tidak mungkin menerima suplai Allah. Allah hanya mau menyuplai keperluan semacam orang, yaitu orang yang mau memberi. Ketika Allah memberi kepada manusia, Ia sama sekali tidak kikir, melainkan sangat lapang dada. Cawan Allah selamanya melimpah-ruah, Ia tidak pernah pelit dan picik. Firman-Nya mengatakan, kalau Ia mem­beri kepada kita, pasti dengan suatu takaran yang baik, yang dipadatkan dan diguncang. Kebanyakan penjual beras tidak mau menggoncangkan takarannya, setelah ditakar sebentar, lalu cepat-cepat dituang. Tetapi Tuhan berkata, “Takaran-Nya dipadatkan dan diguncang, bahkan sampai tumpah keluar.” Hanya saja selanjutnya Ia berkata, “Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan di­ukurkan kepadamu.” Kalau Anda memberi kepada orang dengan kikir, maka ketika Allah menggerakkan orang untuk memberi kepada Anda, Ia pun menghitungnya dengan ketat bagi Anda.

Berilah dan kamu akan diberi. Banyak orang yang sama sekali tidak belajar memberi, tetapi selalu meng­hendaki Allah mengabulkan doanya. Anda harus mem­beri dulu, baru Anda bisa memperoleh. Sebab itu, tak peduli kapan saja, jika tidak ada orang yang memberi kepada Anda, itu pasti karena beberapa hari ini Anda telah lalai dalam memberi kepada orang. Bila Anda ada masalah dalam hal memberi, niscaya Anda akan mengalami kekurang­an.

CARA ORANG KRISTEN MENGATUR KEUANGAN

Cara orang Kristen mengatur keuangan bukanlah menggenggamnya dalam tangan. Semakin Anda meng­genggamnya, uang itu akan semakin mati; semakin Anda menggenggamnya, uang itu akan semakin le­nyap, ibarat air menguap. Tetapi, semakin Anda mem­beri, ia akan semakin banyak. Kalau anak-anak Allah semua mau belajar memberi, niscaya Allah akan menya­takan mujizat-Nya di mana-mana. Bagaimanapun bila anak-anak Allah menggenggam uang dalam tangan me­reka, mereka akan menjadi orang miskin. Siapa saja yang selalu memegang uang di tangan, tidak mau mem­beri, ia tidak akan dipercayai Allah. Semakin Anda memberi, Allah akan semakin memberi kepada Anda.

Anda harus meletakkan diri Anda ke dalam firman Allah, jika tidak, Allah tidak berdaya menggenapkan firman-Nya atas Anda. Anda harus terlebih dulu menye­rahkan diri kepada Allah, kemudian senantiasa mem­berikan uang keluar, agar Allah dapat menyuplai Anda.

Pertanyaan:

  1. Bagaimana cara orang Kristen mengatur keuangan?
  2. Mengapa ada orang Kristen yang hidupnya selalu berkekurangan?
  3. Mengapa kita perlu belajar memberi? Bagaimana cara memberi yang benar?
  4. Apa janji Allah terhadap orang yang memberi dengan sukacita?

Referensi: Cara Mengatur Keuangan, Watchman Nee, Yayasan Perpustakaan Injil

MENCARI KEHENDAK ALLAH

Pembacaan Alkitab: Yoh. 7:17; Mat. 10:29-31; Rm. 8:14; Mzm. 119:105; Mat. 18:15-20; 1 Yoh. 2:27

Sebelum kita diselamatkan, segala tingkah laku kita menuruti kemauan hati kita sendiri. Ketika itu, kita mengabdi kepada diri sendiri dan menyenangkan diri sendiri. Akan tetapi, se­karang kita telah percaya Tuhan, telah menerima Kristus sebagai Juruselamat, kita pun mengakui-Nya sebagai Tuhan yang kita layani. Setelah kita beroleh selamat, terjadilah suatu per­ubahan yang mendasar, yaitu semua tingkah laku dan cara hidup kita tidak lagi menuruti kesenangan diri sen­diri, melainkan harus menuruti kehendak Allah. Itu ber­arti setelah kita percaya Tuhan, inti kehidupan kita te­lah berubah; intinya bukan bagi diri kita, melainkan Tuhan.

Continue reading MENCARI KEHENDAK ALLAH

HAYAT KITA

Pembacaan Alkitab: Kol. 3:4; Flp. 1:21; Gal. 2:19-20

 KRISTUS ADALAH HAYAT KITA

Alkitab menunjukkan kepada kita bahwa hubungan yang mendasar antara kita dengan Tuhan ialah “Kristus adalah hayat kita”. Setelah Kristus menjadi hayat kita, barulah kita dapat meneladani Tuhan dan memohon kepada-Nya untuk memberi kekuatan. Karena itu, “Kristus adalah hayat kita” adalah satu kunci. Kolose 3:4a mengatakan, “Kristus, yang adalah hayat kita.” Filipi 1:21a mengatakan, “Karena bagiku hidup adalah Kristus.” Semua ini memperlihatkan bahwa jalan kemenangan ialah “Kristus adalah hayat kita” dan “bagiku hidup adalah Kristus”. Jika seorang Kristen tidak mengerti makna kedua ungkapan ini, mustahil ia dapat mengikuti Tuhan, mustahil menang bersandar Tuhan, dan mustahil maju menempuh jalan Tuhan.

BAGIKU HIDUP ADALAH KRISTUS

Paulus berkata, “Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” Inilah rahasia kehidupan orang Kristen. Tuhanlah yang menjadi orang Kristen di dalam Anda, bukan Anda menjadi orang Kristen di dalam Anda sendiri. Bila Anda menjadi orang Kristen di dalam Anda sendiri, untuk bersabar terasa sulit, mengasihi sulit, rendah hati sulit, menanggung salib juga sulit. Sebaliknya, bila Kristus hidup di dalam Anda, bersabar terasa senang, mengasihi senang, rendah hati senang, memikul salib juga senang.

Saudara saudari, jika Anda sudah merasa letih dan kewalahan menjadi orang Kristen, dan jika Anda nampak bahwa sejak kini Anda tidak perlu hidup lagi, Anda akan merasa inilah satu Injil yang besar. Setiap orang Kristen boleh terhindar dari kehidupan yang meletihkan, inilah satu Injil yang besar! Anda tidak perlu memakai begitu banyak kekuatan untuk menjadi orang Kristen, dan tidak perlu memikul beban seberat itu! Inilah kehidupan orang Kristen: bukan aku yang hidup, melainkan Kristus yang hidup. Tadinya aku yang hidup, bukan Kristus; sekarang bukan aku yang hidup, melainkan Kristus.

AKU TELAH DISALIBKAN DENGAN KRISTUS

Mengapa hari ini “manusia” Anda masih tetap hidup? Anda telah mati tersalib, mengapa Anda masih tetap hidup? Anda perlu iman dan perlu menggunakan tekad Anda, yaitu meletakkan diri Anda di pihak Allah. Jika Anda setiap hari memandang pada “manusia” Anda, setiap hari mengharapkannya berbuat baik, tentu ia akan tetap hidup, ia tidak akan mati. Kita sudah bertahun-tahun salah, berbuat dosa, lemah, congkak, dan menjadi pemarah, seharusnya kita sudah putus asa terhadap diri sendiri. Kita harus datang ke hadapan Tuhan dan berkata, “Aku sudah cukup berusaha, sungguh tidak berguna; hari ini aku sudah tidak mau menghiraukannya lagi, Engkaulah yang melakukan! Aku telah mati di atas salib, sejak kini, biarlah Engkau yang hidup!” Inilah yang dimaksud dengan “Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.”

HIDUP OLEH IMAN DALAM ANAK ALLAH

Dalam Galatia 2:20 masih ada dua kalimat yang sangat penting — “Hidup yang sekarang aku hidupi di dalam daging adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah . . .” (Tl.). Kristus hidup di dalam kita, sejak kini kita hidup oleh iman dalam Anak Allah; setiap hari kita percaya bahwa Anak Allah hidup di dalam kita. Kita berkata kepada Tuhan, “Tuhan, aku percaya bahwa Engkau hidup bagiku. Tuhan aku percaya bahwa Engkau menjadi hayatku, aku pun percaya bahwa Engkau hidup di dalamku.”

Kita perlu belajar mengakui bahwa diri sendiri adalah orang yang tidak mungkin menang. Karena itu, kita tidak bertekad lagi, melainkan menengadah dan berkata, “Tuhan, aku menengadah agar Engkau hidup di dalamku! Semua kehidupanku Engkaulah yang menggantikan aku. Engkau yang menggantikan aku menang! Engkau yang mengekspresikan hayat-Mu sendiri!” Kita perlu setiap hari percaya dan setiap hari berkata kepada Tuhan, “Tuhan, aku tidak berguna! Aku menerima salib-Mu. Tuhan, jagalah agar aku tidak bergerak lagi. Tuhan, Engkaulah yang menjadi Tuhan, Engkaulah yang hidup!” Jika Anda bisa percaya, menengadah, dan bersandar demikian, niscaya Anda setiap hari dapat bersaksi dan berkata, “Bukan lagi aku yang hidup, melainkan Dia yang hidup!”

Pertanyaan:

  1. Apa hubungan yang mendasar antara kita dengan Tuhan?
  2. Mengapa ada orang yang merasa bahwa menjadi orang Kristen itu teramat sulit?
  3. Bagaimana menerapkan “aku telah disalibkan dengan Kristus” dalam pengalaman?
  4. Apa yang dimaksud hidup oleh iman dalam Anak Allah? Bagaimana caranya?

Referensi: Hayat Kita, Watchman Nee, Yayasan Perpustakaan Injil

KELEPASAN

Pembacaan Alkitab: Rm. 7:15 – 8:1-2

Setelah seseorang percaya Tuhan, sebenarnya ia sudah boleh dengan segera beroleh kelepasan dari do­sa. Namun keadaan ini belum tentu merupakan penga­laman yang dimiliki oleh setiap orang yang percaya Tu­han. Banyak orang, setelah beroleh selamat tidak saja belum beroleh kelepasan dari dosa, malahan seringkali terjerumus ke dalam dosa dan kejahatan. Memang me­reka sudah diselamatkan dan menjadi milik Tuhan, di da­lam mereka sudah ada hidup yang kekal; tetapi me­re­ka masih sering diganggu oleh dosa, sehingga me­reka tidak dapat melayani Tuhan sesuai dengan minat yang ada pada diri mereka.

Dosa merupakan suatu hukum (Rm. 7:15-25). Apakah hukum itu? Secara umum hukum berarti sesuatu yang terus-me­nerus berlangsung demikian, tanpa pengecualian; dan hukum itu memiliki kekuatan. Kekuatan hukum ada­lah sesuatu yang spontan, tidak perlu dikerjakan oleh usaha manusia. Asalkan sesuatu itu adalah hukum, ia pasti me­miliki kekuatan. Roma pasal 7 menunjukkan kepada kita, betapa Paulus mendambakan kemenangan. Ia sangat ingin ti­dak berbuat dosa, dan sebaliknya dapat melakukan per­­kara-perkara yang diperkenan Allah. Ia tidak ingin ber­­­buat dosa dan gagal, tetapi akhirnya ia mengakui bahwa tekadnya tidak berguna.

Sebab-musabab kegagalan Paulus pada awalnya ia­lah karena ia selalu menggunakan tekadnya untuk ”ber­ke­hendak” atau ”bertekad”. Hingga ayat 21, barulah mata Paulus tercelik, ia nampak bahwa musuh — dosa — yang hendak ia tanggulangi tak lain ialah suatu hukum. Sete­lah ia nampak ini, ia hanya dapat mengeluh, ”Aku, ma­nu­sia celaka! Siapa yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” Sekarang ia baru menyadari bahwa tekad­nya tidak dapat mengalahkan hukum dosa.

Jalan kemenangan ialah dibebaskan atau dile­pas­kan dari hukum dosa dan hukum maut (Rm. 8:1-2). Sebab itu, untuk mengalahkan dosa sedikit pun tidak perlu membuang tenaga. Ketika hukum dosa me­nyuruh kita berbuat dosa, saat itu kita tidak membuang tenaga; demikian pula, ketika hukum Roh yang mem­beri hidup membebaskan kita dari dosa, kita pun tidak per­lu membuang tenaga. Kemenangan yang tanpa mem­buang tenaga barulah kemenangan yang sejati. Karena hukum Roh yang memberi hidup dapat mengeks­presi­kan dirinya sendiri, kekuatannya jauh melampaui hu­kum dosa dan hukum maut.

Apabila saudara saudari dapat nampak hal ini, me­reka pasti beroleh kelepasan dari dosa. Alkitab tidak me­ngatakan kita harus mengalahkan dosa dengan te­kad; Alkitab berkata bahwa kita beroleh kelepasan dari dosa. Sebagaimana yang dikatakan di sini, ”Hukum Roh yang memberi hidup telah memerdekakan kamu dalam Kris­tus dari hukum dosa dan hukum maut.” Hukum Roh yang memberi hiduplah yang mengeluarkan kita sehingga ki­ta dilepaskan dari hukum dosa dan hukum maut; hu­kum dosa dan hukum maut masih berada di sini, na­mun sasarannya telah tiada.

Setiap orang yang telah diselamatkan harus nam­pak jalan kelepasan: Pertama, harus nampak bahwa dosa di atas diri kita adalah suatu hukum. Tanpa nampak ini, yang berikutnya tidak bisa dikatakan. Kedua, harus nampak bahwa tekad manusia tidak mampu mengalah­kan hukum dosa. Ketiga, harus nampak bahwa Roh Ku­dus juga suatu hukum dan hukum ini dapat membebas­kan kita dari hukum dosa.

Bagi saudara saudari yang baru percaya, lebih ce­pat mengetahui jalan kelepasan ini lebih baik. Sebenarnya tidak perlu tertunda sampai beberapa tahun baru me­ngetahui jalan kelepasan, juga tak perlu setelah mende­rita banyak luka baru beroleh kelepasan. Banyak sau­dara saudari telah menempuh jalan yang sia-sia, banyak saudara saudari yang mengalirkan air mata karena ke­gagalan. Bila Anda ingin lebih sedikit mengalami kepahitan, lebih sedikit mengalirkan air mata, maka sejak semula sudah harus nampak bahwa jalan pertolongan dan kelepasan ini, ialah ”hukum Roh yang memberi hidup telah memerdekakan kita dalam Kristus.” Hukum ini demi­kian sempurna dan berkekuatan, ia mampu menyela­mat­kan kita sampai kepada akhirnya; tanpa bantuan kita. Hukum ini dengan sendirinya akan melepaskan kita dari dosa, menguduskan kita dan membuat kita penuh dengan hayat.

Semoga Allah mencelikkan mata kita, sehingga kita nampak dengan jelas jalan kelepasan dan rahasia keme­nang­an ini. Dan sejak permulaan kita sudah menempuh jalan yang lurus ini!

Pertanyaan:

  1. Mengapa orang Kristen masih bisa terjerumus ke dalam dosa dan kejahatan?
  2. Dapatkah kita berdasarkan tekad terlepas dari dosa? Mengapa?
  3. Apakah jalan kemenangan dari hukum dosa dan hukum maut? Jelaskan.
  4. Bagaimana agar mengalami kelepasan dari hari ke hari?

Referensi: Kelepasan, Watchman Nee, Yayasan Perpustakaan Injil

REAKSI ORANG BERIMAN

Pembacaan Alkitab: Mat. 6:13; 5:38-38

Separuh atau lebih dari kehidupan manusia berada dalam reaksi. Mendengar perkataan orang lain, kita akan merasa senang atau gusar; bila ada orang me­laku­kan sesuatu, kita akan merasa baik atau tidak baik; bila kita diusik, kita akan jengkel atau kesal hati; bila orang bersalah terhadap kita, kita akan marah-marah; bila orang memfitnah kita, kita akan membela diri; bila kita dianiaya, kita bersabar hati; semua itu tak lain ialah suatu reaksi. Karena itu, kalau kita menganalisis kehidupan manusia, kita dapat menemukan bahwa ke­hi­dupan manusia lebih dari separuh berada dalam reaksi. Sebagai orang Kristen, kita juga hidup dalam reaksi, hanya saja reaksi kita berbeda dengan reaksi orang yang tak beriman (percaya). Dari reaksi sese­orang dapatlah kita ketahui keadaan orang itu. Tidaklah patut kalau reaksi orang yang tak beriman dimiliki oleh orang Kristen; dan tidaklah mungkin reaksi orang Kris­ten bisa dimiliki oleh orang yang tak beriman. Untuk mengenal seseorang, Anda dapat menge­tahuinya dari macam reaksi yang ia tampilkan.

Continue reading REAKSI ORANG BERIMAN

PENGAMPUNAN DAN PEMULIHAN

Pembacaan Alkitab: Mat. 18:21-35, 15-20; Luk. 17:3-5

Bagaimanakah sikap kita bila ada saudara berbuat salah terhadap kita? Injil Matius mengatakan bahwa pengampunan kita terhadap saudara bukan hanya sampai tujuh kali, me­lainkan tujuh puluh kali tujuh kali. Injil Lukas menga­takan, kalau seorang saudara berbuat dosa terhadap kita tujuh kali sehari, tetapi tujuh kali ia kembali kepada kita dan berkata, ”Aku menyesal,” maka kita harus mengampuni dia. Tak peduli penyesalannya itu sejati atau palsu, asalkan ia berkata demikian, kita harus mengampuni dia. Sejati atau palsu penyesalannya, itu bukan urusan kita, bagaimanapun kita harus meng­ampuni dia.

Kita pun sebenarnya adalah orang yang berhutang kepada Allah. Saking besarnya, kita tidak mungkin mampu melunasi hutang kita itu. Jika di­bandingkan antara hutang kita terhadap Allah dengan dengan hutang orang lain terhadap kita, terlalu besar selisihnya. Jika kita dapat menilai hutang kita secara wajar terhadap Allah, kita pasti akan mengampuni saudara kita dengan lapang dada. Kita perlu menyadari betapa besarnya angka hutang dosa kita terhadap Allah, barulah kita dapat menge­tahui betapa kecilnya hutang orang lain terhadap kita.

Allah mempunyai satu harapan atas diri kita, yaitu siapa saja yang ingin memperoleh kasih karunia, ia harus belajar memberikan kasih karunia kepada orang lain. Kalau yang kita terima itu kasih karunia, maka Allah mengharapkan agar kita pun sudi memberikan kasih karunia kepada orang lain. Tuhan memperlihatkan betapa jahatnya dalam pandangan Allah, kalau sese­orang tak mau mengampuni orang lain. Jika Anda tidak sudi mengampuni saudara Anda, Anda adalah hamba yang jahat. Kita harus tahu, kita memang harus memperlakukan diri sendiri berdasarkan keadilan, tetapi kita harus memperlakukan orang lain berdasarkan kasih karunia. Bila orang yang percaya Tuhan tidak dapat mengampuni saudaranya, berarti ia tidak memperlakukannya menurut kasih karunia, dan ia menjadi orang yang kekurangan kasih karunia di ha­dapan Allah.

Allah menginginkan agar kita menga­sihani orang seperti yang Dia lakukan. Karena itu, kita wajib belajar mengasihani dan mengampuni orang lain. Setiap orang yang telah menerima kasih karunia, setiap orang yang telah diampuni Allah, wajib belajar meng­hapuskan hutang orang, mengampuni orang, menga­sihani orang, dan menaruh kasih karunia terhadap orang lain. Kita harus menengadah dan berkata kepada Tuhan, ”Oh Tuhan, Kau telah membebaskan hutangku sebesar sepuluh ribu talenta, kini aku pun mau mengampuni setiap orang yang berhutang dan berbuat dosa ter­hadapku, dan mengampuni pula orang yang kelak berbuat dosa terhadapku. Dosaku yang besar itu telah Kauampuni, maka aku pun mau belajar menurut te­ladan-Mu, aku juga mau mengampuni orang lain.” Kita harap tidak seorang pun di antara kita yang jatuh ke dalam tangan ganjaran Allah. Hendaklah kita dapat mengampuni saudara kita dengan segenap hati kita, sama seperti Allah telah mengampuni kita dengan segenap hati-Nya.

Jika kita hanya mengampuni saudara saja, itu masih tidak cukup. Kita masih perlu memulihkan dia, barulah sesuai dengan permintaan Matius 18:15-20 terhadap kita. Di antara anak-anak Allah sering terjadi seorang saudara berbuat dosa terhadap yang lain. Jika ada seorang saudara berbuat dosa terhadap Anda, apakah yang harus Anda perbuat? Firman Tuhan: “Tegurlah dia di bawah empat mata.” Kita perlu mempraktekkan prinsip ini dengan baik di hadapan Allah. Sewaktu Anda menegurnya, sikap Anda harus wajar, motivasi Anda harus benar, dan tujuan Anda tidak lain ialah untuk mendapatkan kembali saudara Anda itu. Pertama, roh Anda harus benar, kemudian perkataan Anda, cara mengatakannya, sikap, air muka, suara, dan nada suara Anda, semua harus benar. Tujuan Anda bukan hanya menghendaki ia menyadari kesalahannya, tetapi juga ingin mendapatkannya kembali.

Jika Anda telah menegur dan menasihati saudara yang bersalah itu menurut prinsip di bawah empat mata namun ia tidak mau mendengarkan, Anda boleh membawa orang lain. Tentu, seorang atau dua orang itu haruslah orang yang berpengalaman dalam Tuhan, dan yang berbobot dalam kerohanian. Namun jika ia tetap tidak mau mendengarkan juga, barulah sampaikan persoalannya kepada gereja, yakni menyampaikan persoalannya kepada para penatua gereja. Bagaimana jika ia tidak mau juga mendengarkan gereja? Karena ia tidak mau membereskan masalahnya itu, maka gereja memandang seperti orang yang tidak mengenal Allah atau pemungut cukai, dan tidak ber­sekutu dengannya. Namun tujuan perlakuan yang demikian ini bukan untuk menyingkirkan saudara itu dari gereja, melainkan untuk me­mulihkan dia. Semoga Allah memberi karunia kepada kita, agar kita menjadi seorang yang berkasih karunia seperti Tuhan. Jika ada saudara berbuat dosa terhadap kita, ampunilah dia dengan segenap hati. Bahkan pulihkanlah dia menurut kewajiban Anda dan menurut firman Tuhan. Semoga Allah memimpin kita, agar dalam gereja kita dapat menyatakan penghidupan yang sedemikian.

Pertanyaan:

  1. Seberapa besar seharusnya kapasitas hati kita untuk mengampuni kesalahan orang lain?
  2. Apa maksudnya memperlakukan orang dengan kasih karunia?
  3. Apa yang akan menimpa kita jika kita tidak mau mengampuni kesalahan orang lain?
  4. Bagaimana caranya memulihkan saudara yang bersalah? Hal-hal apa saja yang harus kita perhatikan dengan seksama?

Referensi: Pengampunan dan Pemulihan, Watchman Nee, Yayasan Perpustakaan Injil