Abraham dan Sunat

Allah berjanji kepada Abraham, bahwa ia akan mela­hirkan seorang anak. Tetapi Abraham tidak menunggu Allah memberi dia seorang anak, malah berdasarkan diri sendiri mengambil isteri lagi untuk melahirkan Ismael. Setelah ia melahirkan Ismael, selama tiga belas tahun, Allah tidak bicara kepadanya (Kejadian 16:16; 17:1). Terlebih lagi ketika Allah berbicara lagi kepada dia, tidak ada rasa penyesalan akan perbuatannya sebaliknya malah menghargai Ismael (Kej. 17:18). Di sini kita menemukan dua prinsip. Di satu sisi, begitu kita bekerja berdasarkan daging, saat itu pula Allah mengesampingkan kita. Namun di sisi lain, Allah tidak pernah kendor terhadap orang yang dipilih-Nya. Kalau Allah ingin mendapatkan orang, orang itu tidak akan bisa melarikan diri dari tangan-Nya. Meskipun Abraham telah gagal, tetapi Allah mau datang mencarinya. Kita akan melihat bagaimana Allah mempersiapkan sebagai bapa umat-Nya hingga dia bisa melahirkan Ishak, anak perjanjian.

Allah kembali mengulang janjinya kepada Abraham. Namun kali ini ada hal yang berbeda dari janji-janji sebelumnya. Untuk pertama kalinya Allah mewahyukan diri-Nya sebagai “Akulah Allah Yang Mahakuasa” (Kej. 17:1). Menurut bahasa aslinya, “Allah yang Mahakuasa” boleh diterjemahkan “Allah yang serba cukup.” Setelah Allah mewahyukan nama ini, Allah mengaju­kan satu permintaan kepada Abraham, “Hiduplah di hada­panKu dengan tidak bercela.” Di sini Allah memperlihatkan kepadanya, kalau ia percaya Allah itu Serba Cukup, ia ha­rus menjadi orang yang sempurna di hadapan Allah. Orang yang tidak bercela, adalah orang yang sempurna, adalah orang yang murni. Allah ber­kata, “Inilah perjanjianKu yang harus kamu pegang, perjan­jian antara Aku dengan kamu serta keturunanmu, yaitu setiap laki-laki di antara kamu harus disunat” (Kej. 17:10). Di sini Allah mengadakan perjanjian dengan syarat yaitu sunat.

Apakah makna sunat? Kolose 2:11 mengatakan, “Dalam Dia kamu telah di­sunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa” (“tubuh yang berdosa” dalam bahasa aslinya adalah “tubuh daging”). Filipi 3:3 mengatakan, “Kitalah orang-orang bersunat, yang beribadah oleh Roh Allah, dan bermegah dalam Kristus Yesus dan tidak menaruh percaya pada hal-hal lahiriah,” (”lahiriah” dalam bahasa aslinya adalah “daging”). Ringkasnya, sunat adalah menyinkirkan daging. Daging bukan hanya menyuruh orang berbuat dosa, Alkitab juga menyatakan bahwa “daging ti­dak mungkin berkenan kepada Allah” (Rm. 8:8). Ini berarti daging pernah berusaha ingin diperkenan oleh Allah. Sebab itu, salah satu ciri daging yaitu merasa dengan diri sendiri yakin. Kisah Abraham melahirkan Ismael menunjukan bahwa yang diperhatikan Allah bukanlah tujuannya berubah atau tidak, melainkan apakah dagingnya sudah dibereskan. Sunat membereskan daging yang dengan kekuatan diri sendiri merampungkan janji Allah. Di sini Allah memberi Abraham satu pengenalan ini. Jadi tujuan sunat adalah mengerat keyakinan daging, mengerat kekuatan alamiah, agar kita di depan Allah tidak berani sembarangan berbicara dan bertindak, agar kita menjadi orang yang takut dan gentar.

Setelah Abraham tidak lagi bersandar pada diri sendiri, Allah kembali berfirman akan memberikan kepadanya anak laki-laki (Kej. 17:15-16). Namun mendengar hal itu Abraham justru tertawa dalam hatinya dan berharap Ismael diperkenan Allah (ay. 17-18). Ini menyatakan, bahwa kini ia terhadap dirinya tidak menaruh harap sama sekali, ia melihat dirinya sama seperti sudah mati, ia melihat rahim Sara sudah tertutup. Di sini seolah-olah iman Abraham mundur bahkan gagal, tetapi sebenarnya Allah tetap bekerja di atas dirinya. Menurut keadaan dirinya sendiri, terhadap janji Allah, ia seolah-olah tidak mungkin bisa percaya. Tetapi, ketika ia tidak bisa percaya, iman yang sejati timbul! Ketika dirinya tidak bisa percaya, tidak berdaya lagi, ia sungguh-sungguh bersandar kepada Allah. Saat ini, ia seolah-olah percaya, juga seolah-olah tidak mungkin percaya. Di dalam dirinya hanya ada sedikit iman, namun justru sedikit iman inilah yang murni. Ini menunjukan kepada kita bahwa ketika kita menang, belum tentu semua adalah pekerjaan Allah. Sebaliknya ketika kita gagal, belum tentu Allah tidak bekerja. Selain itu, kita juga melihat dua aspek Allah memimpin umat-Nya: kalau tidak menciptakan situasi sampai jalan buntu, supaya kita percaya kepadaNya, Ia akan membawa daging kita sampai pada kesudahannya, sehingga kita tidak ada jalan lain kecuali percaya kepadaNya. Pelajaran yang diberikan oleh situasi lingkungan kepada kita adalah lahiriah, pelajaran yang diberikan oleh sunat kepada kita adalah yang batiniah.

Begitu Abraham percaya dan disunat, sampai pasal 18, persekutuannya dengan Allah semakin intim, menya­takan dia benar-benar sahabat Allah. Allah kali ini datang menghampiri Abraham dengan mengambil kedudukan sebagai manusia dan di sana terjadi percakapan (ay. 2-8) dan membicarakan mengenai anak laki-laki bagi Abraham. Allah juga menunjukan bahwa Sara diam-diam tertawa (ay. 12-15). Inilah satu persekutuan. Allah menjadi manusia, Allah berhubungan dengan manusia; inilah persekutuan Allah dengan umatNya. Setelah Abraham bersekutu dengan Allah, lalu Abraham mempunyai pengetahuan mengenai Allah. Kemudian, Allah menyampaikan ra­hasia-Nya kepada Abraham (ay. 17-21). Abraham di hadapan Allah, mengetahui kehendak Allah yang tidak diketahui oleh orang lain. Kehendak Allah hanya diberitahukan kepada orang yang berjalan dengan Allah. Sebab itu, berharganya berjalan dengan Allah adalah bisa mengenal Allah (ay. 16). Setelah Allah memberitahukan hal itu kepada Abra­ham, Abraham segera melakukan doa syafaat (ay. 23-25). Jadi dalam pasal ini ada tiga hal yang dinyatakan: 1) persekutuan; 2) pengetahuan; 3) permohon­an (doa syafaat). Setelah ada persekutuan, timbullah pengeta­huan, kemudian timbul pula beban dan doa syafaat. Doa syafaat Abraham bukan untuk menggerakkan hati Allah, melainkan untuk menyatakan hati Allah. Sebab itu, doa yang mengenal hati Allah bukanlah doa yang bermaksud mengubah kehendak Allah, melainkan akan menyatakan kehendak Allah.

Abraham kembali melanggar perintah Allah dan masih melakukan dosa seperti yang dilakukannya di Mesir, yaitu menyebut Sara sebagai saudaranya. Di Mesir, ia ditegur oleh Firaun. Karena rahmat Allah, ia dibimbing kembali. Kali ini dia di Gerar, di daerah Abimelekh, melakukan dosa yang sama. Pasal 20 merupakan ujian kedua Abraham sebelum melahirkan Ishak dan penanggulangan Allah yang lebih dalam dibandingkan pasal 12. Ada dua perkara yang bisa dipelajari di sini. Pertama, iman dan kasih karunia tidak bisa terpisah, harus menjadi satu. Dari alasan Abraham (Kej. 20:11-13), kita mengetahui bahwa ia mengira saat menghadapi ba­haya, suami isteri boleh berpisah menjadi kakak dan adik. Pemikiran ini telah berakar dalam diri Abraham sejak di Mesopotamia. Melalui ini Allah ingin mencabut dan membereskan akar dosa ini. Kita harus ingat, kedudukan Abraham adalah iman dan kedudukan Sara adalah kasih karunia. Dari pihak ma­nusia adalah iman, dari pihak Allah adalah kasih karunia. Sebab itu, sama halnya Sara tidak boleh dipisahkan atau dikorbankan, demikian juga untuk menjadi umat Allah dan mempertahankan kesaksian-Nya harus melalui iman dan kasih karunia.

Perkara kedua yang ditunjukan adalah keyakinan tergantung pada Allah, bukan pada dirinya sendiri. Abraham telah berbuat dosa dan dirinya sendiripun belum memiliki anak, jika kita pada posisi Abraham apakah kita ada kekuatan untuk berdoa untuk perempuan di keluarga Abimelekh? Namun Alkitab dengan jelas mencatat setelah Abimelekh mengembalikan Sara kepada Abraham, “lalu Abraham berdoa kepada Allah, dan Allah menyembuhkan Abimelekh dan isterinya dan budak-bu­daknya perempuan, sehingga mereka melahirkan anak” (Kej. 20:17). Ketika ia berdoa bagi keluarga Abimelekh, boleh jadi dia sendiri sedikitpun tidak ada keyakinan, tetapi keyakinan tergantung pada Allah, bukan pada dirinya sendiri. Sekarang Abraham telah dengan mutlak tertolong, terlepas dari dirinya sendiri. Meskipun dia sendiri belum mempunyai anak, tetapi dia bisa berdoa bagi kelahiran orang lain. Dagingnya benar-benar sudah dibereskan. Allah memimpin Abraham sampai ke satu tahap, supaya ia benar-benar tidak melihat diri sendiri. Abraham mengenal bahwa kekuatan itu berasal dari Allah, bukan berasal dari diri sendiri. Kalau Allah mau bekerja, Allah bisa bekerja; bagi Allah tidak ada satu hal yang tidak mungkin. Segala sesuatu berasal dari Allah. Inilah arti Allah Bapa. Dia adalah Bapa segala sesuatu, Dia adalah Bapa semuanya.

Referensi: Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub; Watchman Nee; Yayasan Perpustakaan Injil.

Leave a Reply